piyodegutz
IT'S ME!

Photobucket - Video and Image Hosting

MY SELF

piyodegutz
03 August
the adventurer
piyodegutz@yahoo.com

Loves: travelling, photography, music, and books
Dislikes: animal , late, smokers.

ARCHIVES

October 2006
November 2006
January 2007
April 2007
May 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007

TEMANS

.Anna Chan. biblioholic. ochan. Djimpe. alifiah. rara. isdich. iqko. anchoe. armin. reda. doel. ruslee. soeltra. fitri-doel. ocha. reda. ochank. hendragunawan.

NICE SITE

ininnawa society. panyingkul. penerbit ininnawa. rumah kamu. tandabaca. kamus. wikipedia. southendpress. informasi-beasiswa. beasiswas.blogs.friendster. indobackpacker.


Leave Message

Nice Site

Thursday, October 25, 2007
@7:37 pm

Jalur Cepat-Lambat Menuju SIM

Sudah banyak orang tahu bahwa ada dua jalur bila hendak mengurus surat izin mengemudi (SIM), yakni jalur lambat dan cepat. Mungkin masing-masing Anda punya cara melaju di dua jalan itu. Tapi bagaimanakah keduanya?

Pagi-pagi sekali saya dan Jamal berangkat ke Polwiltabes Makassar untuk mengurus Surat Izin Mengemudi atau SIM-ku yang pertama. Sebelumnya Jamal sudah menceritakan kepada saya bahwa pengurusan SIM ada dua jalur. Yang pertama lewat jalur normal dan yang kedua lewat jalur cepat. Mendengar kedua istilah itu membuat saya teringat jalur-jalur di jalan raya. Bagi yang tidak sedang buru-buru sebaiknya menggunakan jalur lambat agar tidak mengganggu pengguna jalan lain; sementara bagi yang terburu-buru diberikan jalur cepat agar dapat bersegera. Jamal sempat bercanda kepada saya, katanya setiap kali bertemu dengan orang yang dikenal saat mengurus sesuatu di kantor polisi, dia selalu bertanya kepada orang tersebut “Apa lagi masalahmu?”. Ini seperti hal yang hampir selalu terpikirkan di benak saya ketika melihat orang lain berada di kantor polisi.

Sebelum sampai ke pos bertulisan TAMU HARAP LAPOR, Jamal bertanya sekali lagi kepada saya “ingin jalur yang mana?”. Maka sambil berpikir keras dan dengan sedikit gengsi maka saya berkata, “Jalur cepat mo pale…”

Sebenarnya saya tidak ingin menggunakan cara ini. Perhitungannya begini, pertama saya tidak suka berhubungan dengan polisi, dan kedua jika menggunakan jalur normal berhubungan dengan polisi bakalan jauh lebih lama. Atas pertimbangan tersebut, akhirnya saya mengambil “jalur cepat”. Saya dan Jamal sepakat menggunakan jalur ini. Saya membaca Jamal mengetahui ketidak nyamanan saya dengan jalur ngebut ini. Namun dia diam saja.

Begitu memasuki gapura Polwiltabes kami singgah di pos jaga yang terletak paling depan itu. Seorang polisi paruh baya, wajahnya tampak segar dengan segaris senyum, menemui kami. “Ada perlu apa Dik?” tanyanya. Kami langsung mengutarakan maksud kami. Dia menanyakan beberapa pertanyaan standar kepada saya seperti mengurus SIM jenis apa, pertama kali atau perpanjang, dan lain-lain. Jamal lalu menanggapi polisi tersebut dengan gurauan sok kenal. Setelah beberapa pertanyaan standar, kami menanyakan biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah SIM. Katanya, untuk SIM A Rp.250.000 dan SIM B sekitar Rp.200.000. Dengan suara setengah berbisik wajahnya agak mendekat kepada kami berdua. Dia lalu menanyakan mau diuruskan? Kami mengiyakan. Disebutnya kemudian biayanya ditambah Rp.25.000 untuk pemeriksaan kesehatan katanya. Saya pun segera mengeluarkan dua puluh lima ribu lagi untuk biaya pengurusan tersebut. Padahal biaya yang saya lihat tertera di kwitansi yang saya pegang sebesar Rp70ribuan, tapi saya membayar Rp200an ribu untuk semuanya.

Untuk ‘ngebut’ di jalur ini memang harus membayar lebih. Itu juga yang sempat mengeluhkan pembayaran pengurusan SIM ini. Teman saya, Mansyur Rahim—yang akrab kami panggil Anchu, bercerita dia pernah mengurus SIM C. Biaya yang tertera di kwitansi pembayaran sebesar Rp.60.000. Namun dia harus membayar Rp150.000. Uang yang wajib dibayar sebenarnya hanya sejumlah yang tertera kwitansi yang mirip cek itu dan selebihnya beredar ke kalangan pegawai yang mengurus SIM.

Polisi berpangkat empat balok itu kemudian mengajak kami untuk mengikutinya ke sebuah tempat sisi kanan sebelah timur Polwiltabes. Kami dibawa melewati tempat yang tampakannya seperti tempat penjagalan di film horor dan biasanya digunakan untuk membantai korban. Atau jika hari kurban datang, mirip tempat penjagalan hewan-hewan qurban pada Idul Adha. Tempat yang kami tuju ternyata sebuah gedung kecil di belakang tembok mirip lokasi tempat penjagalan itu. Masuk ke tempat tersebut di sebelah kiri segera dapat menemui kantin kecil di bawah pohon sedikit rindang. Tampak seorang polisi berumur empat puluh limaan, perutnya kelihatan buncit, sedang duduk ngaso sambil merokok di kantin tersebut. Seorang bapak berbadan ceking duduk menunggui kantin sederhana yang menjual minuman dan makanan kecil buatan rumahan. Tipikal makanan kesukaan polisi yang juga sering nongkrong di seberang jalan depan rumahku saat melakukan sweeping.

Gedung yang kami tuju terletak di sebelah kanan gerbang tadi. Menujulah kami ke sana. Saya dan Jamal diminta menunggu beberapa saat. Depan gedung tersebut menunggu dua orang polisi. Lelaki berusia agak muda dan polwan empat puluh tahunan. Polisi berpangkat empat balok itu menghampiri polisi wanita lalu setengah berbisik. Hanya beberapa kata yang terdengar jelas di telinga kami. Si polwan menanyakan jenis SIM yang ingin diuruskan, polisi empat balok menjawab jenisnya. Kemudian polisi empat balok tadi masuk ke dalam ruangan di depan kami beberapa menit dan keluar dengan membawa fotokopi KTP saya yang dimintanya sejak di pos jaga. Di bawah fotokopi KTP itu di klip selembar kertas ukuran separuh halaman kwarto. dipegangnya kertas itu di tangan kanannya dengan enteng.

Dia berjalan menuju pintu gerbang yang semula kami masuki diikuti beberapa orang yang tidak kami kenal bersama seorang pria paruh baya yang kelihatan telah akrab dengannya tak berseragam polisi. Sebelum keluar dari gerbang dia tiba-tiba berhenti dengan suara pelan dia meminta saya menandatangani kertas tersebut. Karena tidak membawa pulpen, maka dia kembali ke ruangan tadi untuk meminjam pulpen. Namun Jamal berinisiatif menyuruh saya meminjam pulpen kepada penjaga kantin tadi. Saya pun menandatangani kertas tersebut tanpa membacanya, kemudian menyerahkannya kepada seorang pria yang akrab berbicara dengan polisi balok empat tadi. Mungkin pria tadi adalah calo. Namun lebih tepatnya, asisten si empat balok itu.

Dia langsung mengajak kami dan beberapa orang yang tidak kami kenal tadi menuju gedung lain tidak jauh dari situ. Cuaca mendadak sangat panas terik begitu kami berpindah lokasi. Di sekitar lokasi Polwiltabes itu ternyata hampir tak ada pohon besar yang tumbuh. Gedung-gedung yang berdiri tampak baru. Mungkin pohon-pohon tersebut telah terganti dengan gedung. Untung saja jalanan sepanjang jalan menuju gedung itu tidak ikut ditembok.

Begitu sampai ke gedung yang dituju kami diminta duduk dan menunggu di kursi yang berjejer panjang bergandengan muka belakang. Mirip kursi mobil bombe-bombe yang biasanya digunakan untuk razia. Teman-teman menyebutnya demikian karena posisinya yang saling membelakangi mirip orang yang sedang musuhan.

Setelah duduk menunggu beberapa menit saya baru tersadar, bahwa orang-orang yang tidak kami kenal yang ikut jalan bersama kami. Mereka rupanya juga orang “pejalur cepat” seperti saya. Sementara kertas yang telah saya tandatangani tadi tidak lain tes kesehatan yang menyatakan saya sehat walafiat. Sekali lagi saya baru sadar bahwa gedung sebelumnya merupakan tempat tes kesehatan. Si balok empat yang kelihatan sangat tenang hanya melenggang membisiki asistennya dan kawannya di setiap ruangan yang dituju dan bereslah urusan “jalur cepat” kami.

Pernah teman saya menceritakan pernah sekali waktu pengurusan SIM sebenarnya telah dimudahkan dengan adanya pengurusan SIM keliling. Namun akhir-akhir ini fasilitas itu sudah tidak kelihatan lagi di depan public. Entah apa yang menyebabkan terhentinya pelayanan tersebut.

Sekitar empat puluh menit lebih kami menunggu si balok empat tadi di tempat menunggu depan gedung bertuliskan: PELAYANAN SIM SATLANTAS POLWILTABES MAKASSAR. Di depan gedung tersebut banyak tertempel tulisan imbauan untuk pengguna jalan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah tulisan “Anda adalah masyarakat kami yang terbaik kami siap melayani Anda”. Sungguh syok saya membacanya, setelah kemarin mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa orang polisi lalu lintas di Jalan Perintis Kemerdekaan. Ketika itu terjadi kemacetan besar di jalan Perintis Kemerdekaan. Sudah hampir dua jam kami di jembatan Tello terjebak macet. Ketika berhasil sampai mendekati pagar kantor kami hendak masuk. Namun karena macet, semua pengguna jalan tidak ada yang mau mengalah barang sejengkalpun. Padahal jelas-jelas kami sudah di depan pagar dan tinggal menyeberang. Pengguna jalan lain tidak ada yang mau memberi kami jalan dan memaksa kami untuk putar lagi sampai ke jalan Bung. Sementara polisi-polisi yang berada disitu bukannya menolong kami untuk diseberangkan setelah menunggu hampir dua jam an di jalan malah datang memukul mobil dan marah-marah meminta kami untuk berputar lebih jauh lagi. Sepertinya mereka hanya malas menghadapi masalah baru. Tapi kenyataannya itu kan tugas mereka!. Dongkol betul hati kami karena mendapat perlakuan tidak adil. Karena sebelumnya banyak sekali mobil yang menyelip sembarangan di jalan malah diberi jalan para polisi itu. Giliran kami hanya ingin menyeberang sama sekali tidak diperbolehkan. Aturan yang benar-benar membingungkan saya.

Selama menunggu saya terus bertanya kepada Jamal, mengapa kami harus menunggu di luar dan orang lain berada di ruangan ber-AC di depan mata tempat kami duduk. Ternyata tempat tersebut, kata Jamal, adalah tempat orang yang telah mengisi formulir kertas ujian dan menunggu SIM keluar. Saya mengamati ternyata banyak sekali calo yang berkeliaran di Polwiltabes tersebut. Begini cara saya membedakan mereka dengan yang lain. Dari potongan tas pinggang yang menggantung di pinggang mereka, topi yang mereka pakai, dan potongan kemeja yang tak rapi. Luar biasa, tempat seperti Polwiltabes berkeliaran calo tanpa ada tindakan! Dan selentingan orang, mereka bukan orang jauh. Rata-rata keluarga dekat para polisi di Polwiltabes. Benar tidaknya saya tak tahu. Sekitar empat puluh menit berlalu. Si calo keluar dan meminta kami mengisi formulir yang ternyata isinya soal ujian SIM yang isinya telah dilingkari jawaban yang tepat. Saya terbelalak melihatnya karena tidak percaya. Sebelumnya Jamal sebenarnya sudah menceritakannya langsung namun saya sedikit tidak percaya. Tetapi akhirnya terbelalak dan percaya juga dengan praktik tersebut. Setelah diminta mengisi data standar calon pemilik SIM saya diminta membubuhkan sidik jari.

Begitu persoalan administrasi selesai, kami akhirnya diizinkan masuk keruangan ber-AC di depan tempat kami menunggu. Sebelum masuk serentak banyak sekali orang yang keluar dari ruangan itu. Sepertinya mereka adalah orang-orang yang menggunakan jalur normal yang telah menunggu sejak pagi atau bahkan beberapa hari sebelumnya untuk mengambil SIM mereka.

Di dalam ruangan tersebut kami, orang-orang jalur cepat, diarahkan ke sebuah ruangan untuk verifikasi data di SIM oleh si calo. Namun di ruangan ini bagusnya semua orang punya hak yang sama. Semua orang antri, tidak peduli jalur cepat atau normal. Sekitar dua puluhan orang bersempit-sempit dalam ruangan kecil tersebut untuk menunggu verifikasi data sambil membawa sebuah map berisi formulir yang telah diisi sebelumnya baik oleh calo maupun pemohon jalur normal sendiri.

Selesai dari situ kami diminta pindah ke ruangan lain, tepat di sebelahnya, untuk membawa map berisi berkas kami. Nama setiap orang dipanggil bergiliran seperti di ruangan sebelumnya dan berkasnya dibubuhkan tanda tangan, lalu diserahkan ke dua orang polwan di sebelahnya. Dua polwan ini masing-masing bertugas untuk mencocokkan data calon pemilik SIM dengan berkas yang telah diterima, kemudian memotret pemilik SIM. Kamera yang digunakan kamera digital standar. Entah bermerek apa. Namun kinerjanya dapat langsung dilihat di monitor komputer. Ketika tiba giliran saya untuk dipotret, saya langsung duduk tegak menyontek gerakan orang sebelum saya dan mengikuti arahan-arahan si polwan untuk berpose tegak. Dalam hitungan beberapa detik saja foto telah selesai. Bahkan sebelum saya sempat sadar telah dipotret. Kemudian saya diminta memindai sidik jari di alat pemindai dan membubuhkan tanda tangan yang juga pada sebuah alat elektronik. Setelah selesai, saya diberian selembar kecil kertas berisi tulisan untuk dipegang setiap pemilik SIM dan akan ditukarkan dengan SIM di loket lain di luar ruangan itu.

Saya keluar ruangan dengan perasaan lega. Akhirnya saya berada pada proses akhir menunggu SIM saya keluar. Saya mengantri beberapa menit saja sambil menonton acara televisi di ruang tunggu tersebut. Acara yang tengah tayang adalah konser dangdut Syaiful Jamil. Beberapa polisi tengah berjoget di dalamnya yang membuat saya kontan tertawa. Mereka juga memilih acara yang dekat dengan mereka ternyata. Fanatik sekali, kata saya dalam hati.

Nama saya dipanggil dan kertas saya tukarkan dengan kertas mirip cek tadi. Luar biasa! Hanya dengan menunggu sekitar dua setengah jam selesailah segala urusan membosankan ini. Nah bagi anda calon pemilik SIM berencana berada di jalur yang mana? Berada di jalur lambat atau jalur cepat? Selamat mencoba.

Foto: contoh kwitansi motor


life is a travel

Tuesday, October 09, 2007
@1:22 pm

European Film Festival
26 October - 2 November 2007

Schedule

Book Café Biblioholic
Jl Perintis Kemerdekaan 9 No 76 (Depan Mercedes Benz), Tamalanrea, Makassar
Tel (+62) 411 586 459
Capacity: 100 seats

Day/ Date Time Film From Year Genre Duration Director
Sat, 24 Nov 14:00 Lovelorn Turkey 2005 Drama 115 Min Yavuz Turgul
16:00 Polleke Netherlands 2003 Drama 95 Min Ineke Houtman
19:00 Life and Lyrics UK 2005 Drama 75 Min Richard Laxton
Sun, 25 Nov 14:00 Zozo Sweden 2005 Drama 103 Min Josef Fares
16:00 After the End of the World Bulgaria 1998 Drama 104 Min Ivan Nichev
19:00 Almost Adult UK 2006 Drama 75 Min Yousaf Ali Khan

Atau klik di :

http://www.uni-eropa.org/film/schedule-by-venue-biblioholic-makassar.html


We'll see you there...


life is a travel